Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa hubungan
Islam Nusantara dengan Timur Tengah cukup erat, khususnya sekitar awal abad
ke-15 sampai akhir abad ke-19. Sekitar akhir abad ke-19, lebih dari 5.000 orang
Indonesia belajar di Timur Tengah, terutama Mekah dan Madinah. Karenanya,
pengaruh tradisi intelektual Islam Timur Tengah, khususnya Hijaz, terhadap
pendidikan Islam di Nusantara sangat besar.
Menyusul berkembangnya tradisi Hijaz, yang
berbeda dengan tradisi Cordova dan Baghdad sebelumnya, tradisi baru dalam Islam
berkembang, sekitar akhir abad ke-19, yang bergerak dalam pendidikan dan ilmu
pengetahuan Islam. Tradisi baru ini, kemudian disebut reformis, berpusat di
al-Azhar, Kairo. Sejak masa itu, semakin banyak orang Indonesia belajar di
al-Azhar, sejalan berkurangnya minat mereka belajar di Hijaz.
Dari
al-Azhar sentris menjadi McGill sentris
Perkembangan tradisi baru di al-Azhar inilah
yang menjadi salah satu rujukan utama pendirian IAIN. Di antara fakultas di
IAIN, tiga diantaranya sama dengan fakultas di al-Azhar sejak 1930-an: Fakultas
Ushuluddin, Syari`ah dan Adab. Sistem ujian tahunan juga diambil dari al-Azhar.
Salah satu faktor yang mendukung pengaruh model al-Azhar adalah banyaknya
lulusan al-Azhar yang memegang kedudukan penting di Departemen Agama dan
merancang pendirian IAIN.
Namun, belakangan terjadi perubahan dan
pembaruan lebih mendasar menyangkut isi program studi dan metode pengajaran.
Pembaruan ini dilakukan ketika Harun Nasution menjabat rektor IAIN Syarif
Hidayatullah (1973-1984) dan kemudian diterapkan berangsur-angsur pada
IAIN-IAIN lain.
Perubahan tersebut diilhami baik oleh kebijakan
pembangunan nasional yang mensyaratkan dimensi kehidupan keagamaan yang
rasional dan dinamis, maupun oleh tradisi akademis Barat. Tidak dapat diragukan
bahwa pengalaman Harun Nasution yang pernah belajar di al-Azhar dan meraih
gelar doktor di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada,
merupakan salah satu faktor yang mendorong pembaruan IAIN. Saat yang sama,
perubahan itu menekankan bahwa IAIN harus menjadi lembaga pengembangan ilmu
pengetahuan agama, bukan pusat doktrin Islam seperti pada periode sebelumnya.
Salah satu indikator tentang orientasi IAIN
adalah kerjasama internasional. Sebelumnya, hubungan luar negeri Indonesia
dalam bidang kajian Islam lebih berorientasi ke Timur Tengah. Akan tetapi
belakangan semakin banyak tenaga pengajar dan/atau lulusan IAIN yang
melanjutkan studi di dunia Barat. Gejala itu sudah ada sejak 1960-an, tapi
semakin kuat sejak akhir 1980-an. Kebanyakan mahasiswa dan peneliti ini dikirim
ke Universitas McGill dan Leiden, sedangkan jumlah lebih kecil dikirim ke
berbagai universitas di Amerika Serikat, Australia, dan negara Barat lain.
Sebagaimana ditulis dalam website Departemen
Agama, www.ditpertais.net terkait latar belakang hubungan kerjasama IAIN dengan
McGill, hubungan antara IAIN dan Departemen Agama dan McGill dimulai sekitar 50
tahun lalu ketika McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS) pertama kali
didirikan.
Di antara lulusan pertama MIIS adalah Prof. Dr.
Harun Nasution, yang kemudian mendirikan Fakultas Pascasarjana di IAIN dengan
mengikuti model McGill. Tokoh-tokoh lain yang pernah belajar di MIIS pada tahun
50-an antara lain adalah Prof. Mukti Ali, MA dan Prof. Dr. Mohammad Rasjidi,
keduanya pernah menjadi Menteri Agama.
Pada tahun 1970-an, 17 dosen dari beberapa IAIN
mendapatkan beasiswa dari CIDA dan Hazen Foundation untuk belajar di MIIS.
Setelah tamat, mereka kembali ke tanah air dengan menduduki posisi penting baik
di Departemen Agama maupun di IAIN.
Peran McGill melalui program
bilateral CIDA dalam ikut serta mengembangkan kapasitas internal IAIN diakui
cukup signifikan. Proyek kerjasama IAIN-McGill telah
berhasil memberikan beasiswa dosen-dosen IAIN ke McGill Graduate Studies dan
lebih dari 1.400 orang menerima pelatihan-pelatihan mengajar, riset, managemen,
dan belajar Islamic studies, religious studies, serta library and information
studies. Bantuan teknis yang diberikan oleh staff McGill juga merupakan andil
yang cukup besar dalam pengembangan kapasitas IAIN.
Dari kerjasama CIDA-DEPAG tertutama dirancang
sebagai bentuk program beasiswa untuk meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga
akademik di 14 IAIN di seluruh Indonesia. Proyek kerjasama fase ke-1 ini telah
berhasil memberikan beasiswa kepada 50 dosen IAIN, terdiri dari 44 untuk
tingkat master dan 6 untuk tingkat doktoral. Dari jumlah alumni McGill yang
relatif banyak ini kemudian terbentuklah jaringan yang sering disebut sebagai
”McGill Mafia.”
Puncak akhir dari hubungan kerjasama ini adalah
terbentuknya IISEP (IAIN Indonesia Social Equity Project), yang mencoba
membangun kemitraan antara McGill, Departemen Agama dan kedua IAIN Jakarta dan
Yogyakarta. Proyek ini dirancang untuk membantu rencana-rencana terperinci yang
dikembangkan oleh kedua institusi tersebut dalam upayanya untuk mengembangkan
diri menjadi universitas.
Kerjasama lainnya dijalin oleh Departemen Agama
RI dengan dua universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Universitas
Leipzig. Ruang ligkup kerjasama, antara lain: beasiswa bagi program doktor
dalam bidang kajian Islam di Universitas Leipig, program pertukaran dosen dan
kerjasama penelitian, dan seminar bersama.
Di samping dengan universitas dari Jerman,
Depag juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan universitas dari Australia
dan universitas dari Belanda. Dengan Australia Depag menandatangani perjanjian
Arrangement between The Australia-Indonesia Intitute of the Australian
Department of Foreign Affairs and Trade and The Department of Religious Affairs
of Republic of Indonesia in relation to Partnership in education and training
of regional Islamic Intitutions pada 09 Juni 2004 di Jakarta.
Perjanjian kerjasama ini menyelenggarakan
program pelatihan pascasarjana untuk IAIN/STAIN luar Jawa. Di antaranya
pengiriman empat dosen IAIN/STAIN luar Jawa untuk mengikuti program pelatihan
selama satu tahun di beberapa universitas di Australia.
Sementara perjanjian kerjasama dengan Belanda
ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam dan Rektor
Universitas Leiden di Jakarta pada tanggal 26 April 2004. Di antara isi
perjanjiannya adalah pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di
Universitas Leiden dan program penelitian bersama bagi 14 tenaga pengajar
perguruan tinggi agama Islam di Leiden University.
Adanya perubahan IAIN yang dulunya mengacu pada
Al-Azhar dan mulai berubah ke Barat, hingga menjadikan IAIN sebagai
universitas, telah berdampak, antara lain, IAIN banyak menelurkan
pemikir-pemikir liberal.
Sebagaimana diungkapkan Dr Adian Husaini yang
mengutip tulisan Prof Dr Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN
Syarif Hidayatullah, Ciputat yang dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam
di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian
International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama, bahwa IAIN mengajarkan Islam yang
liberal.
“Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN
terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang
diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab
atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut
dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu,
mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair,
terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok
mahasiswa IAIN.”
Menurut Adian, pengakuan Azyumardi tentang
corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik
untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru
dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah
banyak mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi
mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.
Adian menyebutkan apa yang ditulis dalam buku
tersebut bahwa proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang
menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka
mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies kenamaan semisal Charles
J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah
peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi
di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael
Hallaq, pakar hukum Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan
latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya memberikan kontribusi
yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan
dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).
Alumni
Barat bangga
Di antara alumni McGill menyatakan alasannya
belajar studi Islam ke Barat, sebagaimana di lansir Majalah Hidayatullah,
seperti Dr Siti Syamsiatun, MA, lulusan Islamic Studies McGill University,
belajar Islam di Barat tidak kalah dengan kuliah di Timur Tengah. Siti
mencontohkan orang-orang telah menjadi lulusan Barat, misalnya Harun Nasution.
Ia merasa bersyukur bisa kuliah di Barat. “Cara
studi di Barat sangat intensif, satu kelas hanya enam – dua belas orang,
sehingga interaksi dosen dan mahasiswa sangat baik,” terang Siti yang mendapat
beasiswa tahun 1996 dari Depag. Tidak hanya itu, menurut Siti, metodologi di
Barat lebih kaya.
“Di Barat kita tidak hanya menggunakan
metodologi studi-studi Islam yang tradisional, tapi juga menggabungkan metode-metode
yang ditemukan di ilmu sosial seperti sosiologi, histori, psikologi kita
gunakan juga untuk memahami keberagamaan,” jelasnya. Yang lebih unggul lagi,
tambah Siti, di McGill tidak hanya ’speak-speak’, tapi living practicies by
muslim around the world juga menjadi bagian dari studi.
Lain halnya di Timur Tengah. Menurut yang Siti
ketahui, di Mesir untuk S1 masih seperti pengajian, struktur kurang jelas,
banyak menghafal, satu kelas terdiri dari banyak mahasiswa. “Itu kurang
intensif,” cetusnya.
Di Universitas McGill, program Islamic Studies
terdiri dari 4 jurusan, yaitu: Pemikiran Islam, Hukum Islam, Sejarah Islam, dan
Pendidikan Islam. “Di sana yang lebih enak lagi, kita bisa mengambil subjek
(mata kuliah-red) di fakultas lain,” tutur Siti.
Sementara itu, pengajar Islamic Studies di
McGill ada yang Muslim dan non Muslim. Menurut Siti, pengajar non Muslim
memiliki kualifikasi yang sangat tinggi, seperti dosen di bidang Tafsir yang
menguasai bahasa Arab dengan baik, kebudayaan Arab, dan sebagainya. “Kadang-kadang
kita sampai bingung, ini orang Islam atau bukan karena pengetahuannya tentang
Al-Quran, Hadis justru lebih baik dari kita,” aku Siti.
Siti juga mengaku, dalam materi yang mereka
berikan juga didapati bias-bias peninggalan dari orientalis. “Tapi, untuk
sarjana-sarjana mulai tahun 80-an, 90-an sudah mulai fair dalam memandang agama
lain,” tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan Jainuri, doktor
lulusan Universitas McGill, Kanda. Menurutnya, belajar di Barat lebih
konsentrasi dan cepat selesai. Di samping itu, professor di Barat, terutama di
Universitas McGill cukup terkenal. Komposisi antara yang Islam, Kristen, dan
Orientalis selalu harus dipertahankan. “Tidak boleh didominasi oleh salah satu
kelompok,” ujar pria yang kini mengajar di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya.
Hal yang lain tentu ada fasilitas. “Di
Indonesia kita tidak menjumpai perpustakaan Islamic Studies. Di sana ada,” ulas
Jainuri. Di perpustakaan itu, tambah Jainuri, bisa didapatkan buku-buku Islam
klasik sampai modern. Semua bisa didapatkan. Buku-buku tafsir lengkap, hadis,
kutubus sittah, dan banyak lagi. Semua dari yang aslinya, juga ada yang
terjemahan. Bahkan, kitab-kitab sejarah, manuskrip lama juga tersedia. “Tinggal
kita mau seperti apa? Sekuler, bisa. Fundamentalis, juga bisa.”
Ditambah lagi, di Barat, banyak karya-karya
hasil penelitian lapangan tentang masyarakat Muslim dan budaya. Jadi kombinasi
yang sangat penting. “Di Indonesia penekannya hanya kajian normatif, tapi
analisanya kurang. Lain dengan di Barat,” ulas Jainuri.
Sehingga dari penelitian itu, bagaimana Islam
yang diyakini secara normatif, di lapangan ternyata sangat beragam. “Di
lapangan, Islam sangat beragam. Semuanya mengklaim Muslim. Keragaman kenapa
terjadi, itulah hal yang menarik,” aku Jainuri.
Belajar
di Barat tidak harus terbaratkan
Dalam artikelnya di Majalah ISLAMIA, Prof. Wan
Mohd Nor Wan Daud, alumni Universitas Chicago dan guru besar bidang pendidikan
dan pemikiran Islam di ISTAC Malaysia, mengingatkan dampak besar penggunaan
metode Barat dalam pemahaman Islam, seperti hermeneutika, ”Jika kita mengadopsi
satu kaedah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita
akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri
yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan
juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan
lama.”
Seabrek argumentasi bisa kita berikan tentang
perlunya umat Islam tidak tunduk kepada metode Barat dalam memahami Islam.
Tapi, seperti disampaikan Prof. HM Rasjidi saat mengkritik Prof. Harun
Nasution, bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada soal logika, tapi ada
aspek ”kejiwaan” yang terlibat di dalamnya.
Tidak selamanya lulusan Barat terpengaruh gaya
berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Sebagian ada yang tetap kritis,
bahkan ikut dalam menghadang gerakan sekularisme dan liberalisme di Indonesia.
Seperti halnya Profesor Rasjidi. Lulusan program Islamic Studies di Universitas
McGill, Kanada ini justru ikut dalam menghadang gerakan anti sekularisme dan
liberalisme di Indonesia. Menurut mantan Menteri Agama RI ini, pada umumnya
belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis. “Inilah
salah satu kekurangan belajar Islam di Barat, dan sulit dihindari,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Hamid Fahmy
Zarkasyi, lulusan Inggris. Kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan
framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu
detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat orang yang sedang belajar Islam
di sana tidak akan menyadarinya.
Padahal, ungkapnya, cara orientalis dalam
mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam
bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu. “Artinya Islam
tidak dipelajari berdasarkan iman, sehingga bertambahnya ilmu tidak otomatis
menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya dapat makin menjauhkan orang
dari Tuhan,” ujarnya.
Oleh karena itu, di Barat ilmu tidak dipakai
untuk beriman, dan sudah sejak lama ilmu dipisahkan dengan agama. Hasilnya,
orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis ini akan
menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi
apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Di sinilah Islam dipelajari
secara telanjang, tidak dengan iman.
“Jadi bagaimana mungkin Anda belajar ilmu
tafsir tanpa keimanan? syarat-syarat menafsirkannya saja sudah dilanggar,”
ujarnya. Yang paling jelas, tambah Hamid, cara mempelajari Islam seperti ini
akan merubah cara pandang orang terhadap Islam.
Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan
merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam
orang yang bersangkutan. Sekarang ini Barat menginginkan orang Islam memahami
Islam sebagaimana Barat memahami Islam.
“Karena sementara ini mereka menganggap bahwa
pemahaman-pemahaman Islam yang berasal dari lembaga-lembaga Islam seperti
pesantren menghasilkan Islam yang tidak toleran terhadap agama lain atau bangsa
lain yang pada puncaknya tidak toleran terhadap Barat,” paparnya.
Sementara menurut Syamsuddin Arif dari Johann
Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman, efek negatif belajar
Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan),
agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung
berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain
sebagainya.
Walaupun menurutnya ini tergantung pada
masing-masing individunya. ”Kalau yang bersangkutan ’ignorant’, jahil mengenai
agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah
kemasukan inferiority complex alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan
terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” ujar mantan dosen Universitas
Antar Bangsa Malaysia ini.
Di samping itu, giatnya Barat mengundang
mahasiswa muslim untuk belajar Islam di universitas mereka juga memiliki tujuan
tertentu. Hal ini tidak terlepas dari agenda mereka untuk merubah pandangan
umat Islam terhadap agamanya. (Fathurroji/MG)
Sumber : majalahgontor.net
Artikel Terkait
Luangin waktumu untuk Share this article with your friends