Selasa, 29 April 2014

Belajar Islam ke Barat, atau Membaratkan Islam?

Diposting oleh Unknown di 03.10
Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa hubungan Islam Nusantara dengan Timur Tengah cukup erat, khususnya sekitar awal abad ke-15 sampai akhir abad ke-19. Sekitar akhir abad ke-19, lebih dari 5.000 orang Indonesia belajar di Timur Tengah, terutama Mekah dan Madinah. Karenanya, pengaruh tradisi intelektual Islam Timur Tengah, khususnya Hijaz, terhadap pendidikan Islam di Nusantara sangat besar.
Menyusul berkembangnya tradisi Hijaz, yang berbeda dengan tradisi Cordova dan Baghdad sebelumnya, tradisi baru dalam Islam berkembang, sekitar akhir abad ke-19, yang bergerak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam. Tradisi baru ini, kemudian disebut reformis, berpusat di al-Azhar, Kairo. Sejak masa itu, semakin banyak orang Indonesia belajar di al-Azhar, sejalan berkurangnya minat mereka belajar di Hijaz.
 Dari al-Azhar sentris menjadi McGill sentris
Perkembangan tradisi baru di al-Azhar inilah yang menjadi salah satu rujukan utama pendirian IAIN. Di antara fakultas di IAIN, tiga diantaranya sama dengan fakultas di al-Azhar sejak 1930-an: Fakultas Ushuluddin, Syari`ah dan Adab. Sistem ujian tahunan juga diambil dari al-Azhar. Salah satu faktor yang mendukung pengaruh model al-Azhar adalah banyaknya lulusan al-Azhar yang memegang kedudukan penting di Departemen Agama dan merancang pendirian IAIN.
Namun, belakangan terjadi perubahan dan pembaruan lebih mendasar menyangkut isi program studi dan metode pengajaran. Pembaruan ini dilakukan ketika Harun Nasution menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah (1973-1984) dan kemudian diterapkan berangsur-angsur pada IAIN-IAIN lain.
Perubahan tersebut diilhami baik oleh kebijakan pembangunan nasional yang mensyaratkan dimensi kehidupan keagamaan yang rasional dan dinamis, maupun oleh tradisi akademis Barat. Tidak dapat diragukan bahwa pengalaman Harun Nasution yang pernah belajar di al-Azhar dan meraih gelar doktor di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada, merupakan salah satu faktor yang mendorong pembaruan IAIN. Saat yang sama, perubahan itu menekankan bahwa IAIN harus menjadi lembaga pengembangan ilmu pengetahuan agama, bukan pusat doktrin Islam seperti pada periode sebelumnya.
Salah satu indikator tentang orientasi IAIN adalah kerjasama internasional. Sebelumnya, hubungan luar negeri Indonesia dalam bidang kajian Islam lebih berorientasi ke Timur Tengah. Akan tetapi belakangan semakin banyak tenaga pengajar dan/atau lulusan IAIN yang melanjutkan studi di dunia Barat. Gejala itu sudah ada sejak 1960-an, tapi semakin kuat sejak akhir 1980-an. Kebanyakan mahasiswa dan peneliti ini dikirim ke Universitas McGill dan Leiden, sedangkan jumlah lebih kecil dikirim ke berbagai universitas di Amerika Serikat, Australia, dan negara Barat lain.
Sebagaimana ditulis dalam website Departemen Agama, www.ditpertais.net terkait latar belakang hubungan kerjasama IAIN dengan McGill, hubungan antara IAIN dan Departemen Agama dan McGill dimulai sekitar 50 tahun lalu ketika McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS) pertama kali didirikan.
Di antara lulusan pertama MIIS adalah Prof. Dr. Harun Nasution, yang kemudian mendirikan Fakultas Pascasarjana di IAIN dengan mengikuti model McGill. Tokoh-tokoh lain yang pernah belajar di MIIS pada tahun 50-an antara lain adalah Prof. Mukti Ali, MA dan Prof. Dr. Mohammad Rasjidi, keduanya pernah menjadi Menteri Agama.
Pada tahun 1970-an, 17 dosen dari beberapa IAIN mendapatkan beasiswa dari CIDA dan Hazen Foundation untuk belajar di MIIS. Setelah tamat, mereka kembali ke tanah air dengan menduduki posisi penting baik di Departemen Agama maupun di IAIN.
Peran McGill melalui program bilateral CIDA dalam ikut serta mengembangkan kapasitas internal IAIN diakui cukup signifikan. Proyek kerjasama IAIN-McGill  telah berhasil memberikan beasiswa dosen-dosen IAIN ke McGill Graduate Studies dan lebih dari 1.400 orang menerima pelatihan-pelatihan mengajar, riset, managemen, dan belajar Islamic studies, religious studies, serta library and information studies. Bantuan teknis yang diberikan oleh staff McGill juga merupakan andil yang cukup besar dalam pengembangan kapasitas IAIN.
Dari kerjasama CIDA-DEPAG tertutama dirancang sebagai bentuk program beasiswa untuk meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga akademik di 14 IAIN di seluruh Indonesia. Proyek kerjasama fase ke-1 ini telah berhasil memberikan beasiswa kepada 50 dosen IAIN, terdiri dari 44 untuk tingkat master dan 6 untuk tingkat doktoral. Dari jumlah alumni McGill yang relatif banyak ini kemudian terbentuklah jaringan yang sering disebut sebagai ”McGill Mafia.”
Puncak akhir dari hubungan kerjasama ini adalah terbentuknya IISEP (IAIN Indonesia Social Equity Project), yang mencoba membangun kemitraan antara McGill, Departemen Agama dan kedua IAIN Jakarta dan Yogyakarta. Proyek ini dirancang untuk membantu rencana-rencana terperinci yang dikembangkan oleh kedua institusi tersebut dalam upayanya untuk mengembangkan diri menjadi universitas.
Kerjasama lainnya dijalin oleh Departemen Agama RI dengan dua universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Universitas Leipzig. Ruang ligkup kerjasama, antara lain: beasiswa bagi program doktor dalam bidang kajian Islam di Universitas Leipig, program pertukaran dosen dan kerjasama penelitian, dan seminar bersama.
Di samping dengan universitas dari Jerman, Depag juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan universitas dari Australia dan universitas dari Belanda. Dengan Australia Depag menandatangani perjanjian Arrangement between The Australia-Indonesia Intitute of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade and The Department of Religious Affairs of Republic of Indonesia in relation to Partnership in education and training of regional Islamic Intitutions pada 09 Juni 2004 di Jakarta.
Perjanjian kerjasama ini menyelenggarakan program pelatihan pascasarjana untuk IAIN/STAIN luar Jawa. Di antaranya pengiriman empat dosen IAIN/STAIN luar Jawa untuk mengikuti program pelatihan selama satu tahun di beberapa universitas di Australia.
Sementara perjanjian kerjasama dengan Belanda ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam dan Rektor Universitas Leiden di Jakarta pada tanggal 26 April 2004. Di antara isi perjanjiannya adalah pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Leiden dan program penelitian bersama bagi 14 tenaga pengajar perguruan tinggi agama Islam di Leiden University.
Adanya perubahan IAIN yang dulunya mengacu pada Al-Azhar dan mulai berubah ke Barat, hingga menjadikan IAIN sebagai universitas, telah berdampak, antara lain, IAIN banyak menelurkan pemikir-pemikir liberal.
Sebagaimana diungkapkan Dr Adian Husaini yang mengutip tulisan Prof Dr Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat yang dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama, bahwa IAIN mengajarkan Islam yang liberal.
“Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”
Menurut Adian, pengakuan Azyumardi tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyak mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.
Adian menyebutkan apa yang ditulis dalam buku tersebut bahwa proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar hukum Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).
 Alumni Barat bangga
Di antara alumni McGill menyatakan alasannya belajar studi Islam ke Barat, sebagaimana di lansir Majalah Hidayatullah, seperti Dr Siti Syamsiatun, MA, lulusan Islamic Studies McGill University, belajar Islam di Barat tidak kalah dengan kuliah di Timur Tengah. Siti mencontohkan orang-orang telah menjadi lulusan Barat, misalnya Harun Nasution.
Ia merasa bersyukur bisa kuliah di Barat. “Cara studi di Barat sangat intensif, satu kelas hanya enam – dua belas orang, sehingga interaksi dosen dan mahasiswa sangat baik,” terang Siti yang mendapat beasiswa tahun 1996 dari Depag. Tidak hanya itu, menurut Siti, metodologi di Barat lebih kaya.
“Di Barat kita tidak hanya menggunakan metodologi studi-studi Islam yang tradisional, tapi juga menggabungkan metode-metode yang ditemukan di ilmu sosial seperti sosiologi, histori, psikologi kita gunakan juga untuk memahami keberagamaan,” jelasnya. Yang lebih unggul lagi, tambah Siti, di McGill tidak hanya ’speak-speak’, tapi living practicies by muslim around the world juga menjadi bagian dari studi.
Lain halnya di Timur Tengah. Menurut yang Siti ketahui, di Mesir untuk S1 masih seperti pengajian, struktur kurang jelas, banyak menghafal, satu kelas terdiri dari banyak mahasiswa. “Itu kurang intensif,” cetusnya.
Di Universitas McGill, program Islamic Studies terdiri dari 4 jurusan, yaitu: Pemikiran Islam, Hukum Islam, Sejarah Islam, dan Pendidikan Islam. “Di sana yang lebih enak lagi, kita bisa mengambil subjek (mata kuliah-red) di fakultas lain,” tutur Siti.
Sementara itu, pengajar Islamic Studies di McGill ada yang Muslim dan non Muslim. Menurut Siti, pengajar non Muslim memiliki kualifikasi yang sangat tinggi, seperti dosen di bidang Tafsir yang menguasai bahasa Arab dengan baik, kebudayaan Arab, dan sebagainya. “Kadang-kadang kita sampai bingung, ini orang Islam atau bukan karena pengetahuannya tentang Al-Quran, Hadis justru lebih baik dari kita,” aku Siti.
Siti juga mengaku, dalam materi yang mereka berikan juga didapati bias-bias peninggalan dari orientalis. “Tapi, untuk sarjana-sarjana mulai tahun 80-an, 90-an sudah mulai fair dalam memandang agama lain,” tambahnya.
Hal yang sama juga disampaikan Jainuri, doktor lulusan Universitas McGill, Kanda. Menurutnya, belajar di Barat lebih konsentrasi dan cepat selesai. Di samping itu, professor di Barat, terutama di Universitas McGill cukup terkenal. Komposisi antara yang Islam, Kristen, dan Orientalis selalu harus dipertahankan. “Tidak boleh didominasi oleh salah satu kelompok,” ujar pria yang kini mengajar di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hal yang lain tentu ada fasilitas. “Di Indonesia kita tidak menjumpai perpustakaan Islamic Studies. Di sana ada,” ulas Jainuri. Di perpustakaan itu, tambah Jainuri, bisa didapatkan buku-buku Islam klasik sampai modern. Semua bisa didapatkan. Buku-buku tafsir lengkap, hadis, kutubus sittah, dan banyak lagi. Semua dari yang aslinya, juga ada yang terjemahan. Bahkan, kitab-kitab sejarah, manuskrip lama juga tersedia. “Tinggal kita mau seperti apa? Sekuler, bisa. Fundamentalis, juga bisa.”
Ditambah lagi, di Barat, banyak karya-karya hasil penelitian lapangan tentang masyarakat Muslim dan budaya. Jadi kombinasi yang sangat penting. “Di Indonesia penekannya hanya kajian normatif, tapi analisanya kurang. Lain dengan di Barat,” ulas Jainuri.
Sehingga dari penelitian itu, bagaimana Islam yang diyakini secara normatif, di lapangan ternyata sangat beragam. “Di lapangan, Islam sangat beragam. Semuanya mengklaim Muslim. Keragaman kenapa terjadi, itulah hal yang menarik,” aku Jainuri.
 Belajar di Barat tidak harus terbaratkan
Dalam artikelnya di Majalah ISLAMIA, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, alumni Universitas Chicago dan guru besar bidang pendidikan dan pemikiran Islam di ISTAC Malaysia, mengingatkan dampak besar penggunaan metode Barat dalam pemahaman Islam, seperti hermeneutika, ”Jika kita mengadopsi satu kaedah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul dan lama.”
Seabrek argumentasi bisa kita berikan tentang perlunya umat Islam tidak tunduk kepada metode Barat dalam memahami Islam. Tapi, seperti disampaikan Prof. HM Rasjidi saat mengkritik Prof. Harun Nasution, bahwa masalahnya bukan hanya terletak pada soal logika, tapi ada aspek ”kejiwaan” yang terlibat di dalamnya.
Tidak selamanya lulusan Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Sebagian ada yang tetap kritis, bahkan ikut dalam menghadang gerakan sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Seperti halnya Profesor Rasjidi. Lulusan program Islamic Studies di Universitas McGill, Kanada ini justru ikut dalam menghadang gerakan anti sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Menurut mantan Menteri Agama RI ini, pada umumnya belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis. “Inilah salah satu kekurangan belajar Islam di Barat, dan sulit dihindari,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Hamid Fahmy Zarkasyi, lulusan Inggris. Kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat orang yang sedang belajar Islam di sana tidak akan menyadarinya.
Padahal, ungkapnya, cara orientalis dalam mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu. “Artinya Islam tidak dipelajari berdasarkan iman, sehingga bertambahnya ilmu tidak otomatis menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ujarnya.
Oleh karena itu, di Barat ilmu tidak dipakai untuk beriman, dan sudah sejak lama ilmu dipisahkan dengan agama. Hasilnya, orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis ini akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Di sinilah Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman.
“Jadi bagaimana mungkin Anda belajar ilmu tafsir tanpa keimanan? syarat-syarat menafsirkannya saja sudah dilanggar,” ujarnya. Yang paling jelas, tambah Hamid, cara mempelajari Islam seperti ini akan merubah cara pandang orang terhadap Islam.
Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam orang yang bersangkutan. Sekarang ini Barat menginginkan orang Islam memahami Islam sebagaimana Barat memahami Islam.
“Karena sementara ini mereka menganggap bahwa pemahaman-pemahaman Islam yang berasal dari lembaga-lembaga Islam seperti pesantren menghasilkan Islam yang tidak toleran terhadap agama lain atau bangsa lain yang pada puncaknya tidak toleran terhadap Barat,” paparnya.
Sementara menurut Syamsuddin Arif dari Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain sebagainya.
Walaupun menurutnya ini tergantung pada masing-masing individunya. ”Kalau yang bersangkutan ’ignorant’, jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” ujar mantan dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.
Di samping itu, giatnya Barat mengundang mahasiswa muslim untuk belajar Islam di universitas mereka juga memiliki tujuan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari agenda mereka untuk merubah pandangan umat Islam terhadap agamanya. (Fathurroji/MG)
Sumber : majalahgontor.net 


Artikel Terkait
Luangin waktumu untuk Share this article with your friends
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meluagkan waktunya untuk berkomentar.

 

Born This Way Copyright © 2012 Design by ASTIE AFRIANI Astie Afriani Puspadewi